Jumat, 07 Oktober 2011

Antara Cinta Kepada Tuhan dan Cinta Kepada Sesama



Pendahuluan
Kita ketahui bahwa esensi agama bukanlah hanya bersifat bathin saja, akan tetapi juga bersifat dhohir. Agama tidak hanya mengajarkan aspek ubudiyyah saja, akan tetapi agama juga mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kehidupan yang dituangkan dalam kegiatan bermasyarakat atau bersosial. Dua aspek tersebut, umunya dinamakan sebagai habl min allah dan habl min al-nâs. Dalam agama-agama kedua hal ini sangat ditekankan, khususnya dalam Islam. Bahkan jikalau salah satu dari keduanya ada yang tidak teraplikasi, maka bisa dikatakan bahwa keberagamaannya tidak lengkap atau sempurna.
Di dalam Islam, kedua hal ini sangat dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang dalam merengkuh kebaikan. Akan tetapi karena secara fitrah keduanya bersifat personal, dalam artian hanya diri kita sendiri yang dapat menggalakkannya. Melihat pada aspek habl min allah, maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa semua disiplin ilmu dalam Islam menyinggungnya, akan tetapi menyikapi pada habl min al-nâs, maka pembahasan ini lebih ditekankan pada disiplin ilmu akhlak. Akan tetapi bukan berarti disiplin ilmu lainnya tidak menyinggung pada diskursus ini. Kita lihat pada filsafat misalnya, pembahasan tentang habl min al-nâs tercurahkan pada salah satu cabang teoritisnya yaitu pada pembahasan moral manusia.
Lantas bagaimana dengan tasawud atau ‘irfan? Selama ini orang selalu beranggapan bahwa tasawuf atau ‘irfan hanya berkutat pada aspek ubudiyyah saja atau habl min allah, yakni bagaimana cara seorang manusia memahami Tuhannya, yang kemudian telah melupakan sendi-sendi kehidupan sosial atau habl min al-nâs. Apakah benar tasawuf seperti itu? Ataukah pandangan ini ada diakibatkan oleh nalar subyektif belaka? Pepatah mengatakan bahwa “Tak kenal maka tak sayang”, seperti itulah apa yang terjadi selama ini, beberapa orang yang kurang mengetahui esensi dari tasawuf dengan serta merta mengklaim tentang apa yang ada dalam tasawuf.
Makalah ini sedikitnya akan memberikan argumentasi tentang keikutsertaannya habl min al-nâs dalam ajaran tasawuf. Selain itu makalah ini juga akan membahas tentang relasi habl min allah dan habl min al-nâs, dengan tujuan untuk menepis nalar subyektif terhadap pandangan bahwa tasawuf hanya mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan spiritual yang bersifat individual saja, yang selama ini telah menyebar dalam masyarakat, Insya Allah.

Cinta Dalam Tasawuf
Dalam aspek tasawuf, intinya adalah bagaimana kita memahami realitas Tuhan kita, tentu jika kita ingin memahami Tuhan kita maka modal awal yang harus kita miliki adalah cinta, dalam bahasa tasawuf, cinta dimaknai sebagai kedermawanan/charity/الكرام. Cinta adalah sebuah pemberian tanpa mengharapkan suatu imbalan sedikitpun, maka dari itu, ketika kita melihat bentuk legitimasi cinta yang masih didasari oleh sikap pamrih maka itu bukanlah cinta, karena bentuk rasa ikhlas yang kita tuangkan dengan tidak mengharapkan pamrih tersebut sudah terdistorsi.
Salah satu bentuk contoh dari cinta yang paling rendah adalah seperti seorang ibu yang rela melahirkan anak yang ia kandung, kemudian menyusuinya dan mendidiknya sampai anaknya tumbuh menjadi dewasa. Kesemuanya adalah bentuk kasih sayang dan cinta seorang ibu terhadap anaknya, dan hampir sikap tersebut di miliki oleh semua wanita. Akan tetapi, jika perasaan cinta tersebut dalam perkembangannya dipengaruhi oleh rasa pamrih, seperti contoh jika anaknya sukses dalam pekerjaannya maka ibu tersebut ingin meminta anaknya untuk membiayainya untuk beribadah haji. Maka secara otomatis gugurlah esensi cinta tersebut. Akan tetapi, rasa dari kedermawanan cinta itu sering juga disalah artikan, bentuk dari pemberian tanpa pamrih tersebut banyak dipahami sebagai sikap yang pasrah atau pasif terhadap segala sesuatu yang membahayakan, seperti contoh seseorang yang rela didholimi tanpa bentuk perlawanan. Maka bukan seperti itu cinta yang ditekankan oleh tasawuf, bahkan itu sama sekali bukanlah praktek dari cinta, akan tetapi hal tersebut adalah bentuk praktek dari kepasrahan.
Cinta dari segi obyeknya dapat dibagi menjadi dua, yang pertama adalah cinta terhadap Tuhan atau habl min allah dan cinta terhadap manusia sesama atau habl min al-nâs.

Cinta Terhadap Tuhan/ Habl Min Allah/Vertical Love
Dalam tasawuf, kedermawanan/charity/الكرام esensinya adalah mencintai Tuhan/vertical love, yang lebih daripada apapun termasuk diri kita sendiri, yang kemudian diikuti dengan bentuk cinta terhadap sesama manusia yang mana harus sama dengan cinta kepada diri kita sendiri. Awal dari cinta adalah mencintai Tuhan, karena ketika manusia sudah dapat mengaplikasikan mencintai Tuhan, maka mencintai sesama dapat berarti. Ini sejalan dengan pandangan tasawuf yakni Tuhan sebagai pusat dari segalanya atau theosentrisme. Akan tetapi bukan serta merta menolak pandangan antroposentrisme, karena tasawuf tetap memperhatikannya, hanya saja lebih ditekankan theosentrisme untuk memandang sesama, artinya kita melihat manusia sesama melalui kacamata Tuhan.
Jadi intinya, dalam tasawuf habl min allah harus dijalankan terlebih dahulu sebelum kita menjalankan habl min al-nâs. Akan tetapi realitanya dewasa ini habl min allah seringkali terlupakan dengan habl min al-nâs. Sebesar apapun habl min al-nâs yang kita lakukan akan tetapi jika kita lalai terhadap habl min allah maka habl min al-nâs kita menjadi tidak berarti. Seperti contoh orang-orang di masa kini yang berzakat/bershadaqah akan tetapi lalai atas shalatnya, maka dari bentuk kelalaiannya atas shalat yang merupakan representatif dari habl min allah ini seringkali mendistorsi niat dari zakat atau shadaqah yang ia lakukan. Akibatnya, sikap-sikap yang tidak terpuji kerap menyelimutinya, seperti riya’. Maka hal ini kita maknai sebagai politisasi habl min al-nâs.
Imam ‘Ali zainal ‘Abidin as dalam Risâlah Al-Huqûq-nya mengatakan: “bahwa hak Allah yang paling besar atasmu (manusia) adalah dengan mengabdi (beribadat) dengan-Nya serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Jika kau kerjakan itu dengan tulus ikhlas, maka Ia pun akan mewajibkan atas diri-Nya untuk menyelesaikan segala urusan dunia dan akhiratmu, dan menjaga apa-apa yang kausukai.”[1]
Bentuk dari pengabdian kita sebagai manusia tentunya berawal dari sebuah rasa cinta yang ikhlas kepadanya, karena atas dasar keihkhlasan tersebut kita dapat tulus mengabdi kepada-Nya. Kalau kita sudah tulus mengabdi kepada-Nya, maka urusan dunia kita akan dimudahkan, tidak terkecuali mengenai habl min al-nâs.

Cinta Terhadap Sesama/ Habl Min Al-Nâs/Horizontal Love
Tentang cinta terhadap sesama, telah disinggung di atas bahwa seyogyanya cinta terhadap sesama atau habl min al-nâs jika dibandingkan dengan habl min allah, maka habl min al-nâs menempati posisi sekunder dan habl min allah menempati posisi primer. Juga telah disampaikan bahwa cinta terhadap sesama adalah harus sama dengan mencintai diri kita sendiri, artinya memposisikan diri kita sama dengan diri orang lain. Banyak dari orang-orang yang salah pengertian terhadap hal ini, mereka melegitimasi bahwa menyamakan posisi kita dengan orang lain adalah bentuk kedhaliman terhadap diri kita sendiri. Padahal sebenarnya ini adalah pembuktian bahwa kehidupan spiritual adalah bukan semata-mata yang mempunyai sifat personal, akan tetapi kehidupan spiritual juga memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan.
Rasulullah saww bersabda: “Sebaik-baiknya dari kalian adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya/khairakum anfa‘uhum li al-nâs.” Contoh sederhananya dapat dari pernyataan tersebut kita lihat yakni pada rumah tangga Imam ‘Ali as dengan sayyidah Fatimah Zahra as beserta anak-anaknya ‘Imam Hasan as dan ‘Imam Husein as. Dikisahkan ketika pada bulan Ramadhan menjelang senja mereka telah menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, makanan tersebut adalah dua potong roti dan empat biji kurma yang masing-masing roti tersebut dibagi menjadi dua, sehingga pas satu orang mendapatkan satu. Tatkala ketika waktu berbuka sudah mereka dapati, maka terdengar suara ketukan pintu rumah mereka. Mendengar suara itu, Imam ‘Ali membukanya, ternyata tamu mereka adalah seorang pengemis tua dan seorang anaknya. Pengemis itu meminta sedikit makanan untuk mereka makan sebagai pengenyang perut mereka dikala berbuka puasa. Melihat hal itu, Imam ‘Ali dan keluarganya merelakan semua roti yang mereka miliki untuk pengemis dan anaknya. Doa dan pujian dipanjatkan oleh pengemis tersebut untuk mereka, maka seketika setelah pengemis itu pergi dan berterima kasih, Jibril as memberi mereka makanan surga.
Hikmah yang dapat kita ambil dari kisah tersebut tentu bukanlah ingin meminta atau mengharap balas jasa kepada Allah atas perbuatan baik yang kita lakukan, hal ini kerap terjadi di kalangan masyarakat kita. Akan tetapi, hikmah dari kisah tersebut adalah bahwa mereka as telah mengaplikasikan habl min al-nâs sebagai realisasi dari bentuk kecintaan mereka terhadap Allah/habl min allah, tentu hal ini yang dikehendaki oleh tasawuf, yang selama ini banyak disalah-artikan oeh beberapa golongan.
Kesimpulan
Pelajaran yang dapat kita ambil dari semua yang sudah dijelaskan di atas adalah bahwa kehidupan spiritual tidak semata-mata bersifat individual atau privat, sehingga melupakan aspek-aspek sosial yang memang itu juga dituntut untuk dijalani oleh manusia. Tasawuf bukanlah hanya bahasan-bahasan metafisik saja, tasawuf bukanlah hanya sebuah diskurusus yang menegasikan kehidupan sosial. Karena seperti yang dijelaskan oleh tasawuf di atas, bahwa kehidupan sosial yang akrab dengan sebutan habl min al-nâs merupakan bagian dari kecintaan kita terhadap Tuhan.
Keseimbangan antara keduanya adalah merupakan bentuk relasinya, yang mana keduanya tidak boleh ditinggalkan dengan tetap menitikberatkan kepada habl min allah yang merupakan pusat dari semuanya. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Al-Qur’an mengenai perintah shalat. Perintah untuk menjalankan shalat selalu digandengkan dengan kewajiban kita untuk menunaikan zakat, aqîmû al-shalah wa athî‘û al-zakah., yang mana perintah mengerjakan shalat disimbolkan sebagai kecintaan terhadap Allah dan perintah menunaikan zakat ditafsirkan sebagai kecintaan terhadap sesama. Ini mengindikasikan bahwa doktrin tasawuf sejalan dengan Al-Qur’an. Maka dari itu selayaknya orang-orang yang menilai tasawuf sebagai ajaran yang tabu terhadap kegiatan bermasyarakat, harus merubah pandangannya, dan menganggap tasawuf sebagai contoh ilmu universal yang mengungkap aspek bathin dan dhohir dalam agama.


[1] Muhammad Al-Baqir, Ulama, Sufi dan Pemimpin Umat Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah (Bandung: Mizan 1982) Hal: 96

Tidak ada komentar: