Jumat, 07 Oktober 2011

Manusia Menjadi



PENGANTAR
Jika ditilik dari segi bahasa, Manusia berasal dari akar kata “nasiya” yang mempunyai arti “lupa” mungkin penamaan ini merujuk pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang mempunyi sifat pelupa. manusia juga bisa disebut dengan “insan” dari kata dasar al-uns yang berarti “jinak” artinya, manusia selalu menyesuaikan diri (adaptasi) dengan keadaan yang baru disekitarnya.
Manusia juga dapat diartikan berbeda-beda jika ditinjau dari segi biologis, rohani, kebudayaan ataupun campuran. Dari segi biologis misalnya, manusia dikelompokkan kedalam golongan Homo Sapiens yaitu sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dari segi rohani/agama, manusia adalah mahluk yang terdiri dari aspek jasmani dan ruhani atau jasad dan jiwa, dimana jiwa adalah percikan dari ruh Tuhan yang bersemayam dalam tubuh manusia, sehingga dengan perantaraan jiwa ini manusia dekat dengan Tuhannya.



Jika ditinjau dari antropologi kebudayaan, yaitu penguasaan manusia menggunakan bahasa, sehingga dari interaksi atar manusia yang lain terbentuklah komunitas atau organisasi dalam masyarakat majemuk yang membentuk suatu kebudayaan tertentu
Terlepas dari definisi itu semua, manusia adalah sebuah realitas yang sangat berbeda dengan mahluk-mahluk yang ada. Bisa dikatakan manusia adalah mahluk yang unik karena dibekali dengan kesadaran akan eksistensi dirinya dimuka bumi ini. Berbeda dengan mahluk lainnya yang hanya pasrah akan nasibnya sebagai obyek bahkan pemenuh kebutuhan manusia. Kerbau misalnya, esensi keberadaannya sudah ditentukan hanyalah sebagai mahluk defakto dan pelengkap kebutuhan manusia. Karena kehidupannya tidak lain hanyalah untuk makan dan berkembang biak tidak ada potensi untuk mengembangkan diri kearah kesempurnaan.
Berbeda dengan manusia yang sejak diturunkan dimuka bumi ini dibekali dengan akal yang mampu menembus celah-celah kabut misteri kehidupan yang begitu kompleksnya. Sehingga dengan rasionalitasnya potensi-potensi yang ada padanya digali untuk dikembangkan menjadi cita-cita luhur menuju kesempurnaannya.
Dengan demikian, manusia dipandang sebagai ukuran bagi setiap penilaian, dan referensi utama dari setiap kejadian di dalam semesta ini. karena pada prinsipnya manusia merupakan pusat dari realitas, yaitu sebagai vaber mundi (pekerja atau pencipta dunianya) bukan sebagai viator mundi (peziarah dimuka bumi) yang hanya menancapkan kakinya untuk berasimilasi dengan mahluk yang lain. Mengingat begitu urgennya eksistensi maupun perannya dimuka bumi, lantas siapakah sebenarnya manusia? 

KEJADIAN MANUSIA
Berbicara mengenai asal mula terjadinya manusia ini bisa kita telusuri dalam beberapa teori tentang proses terjadinya manusia diantaranya,

1. Teori Evolusi Darwin
Teori ini diajukan oleh Carles Darwin (1809-1882), dalam teorinya, dia menyebutkan bahwa manusia itu terbentuk dari proses evolusi mahluk hidup sebelumnya. Bahkan tak tanggung-tanggung dia mengatakan bahwa manusia adalah keturunan dari spesies kera. Teori ini didukung oleh golongan kaum materialis yang berpandangan bahwa faktor ketidaksengajaan (kebetulan) yang buta menyebabkan alam semesta membentuk diri, dan makhluk hidup muncul secara bertahap, berevolusi dari zat-zat tak-hidup. Dengan kata lain, semua makhluk hidup di dunia ini muncul sebagai akibat berbagai pengaruh alam dan ketidaksengajaan. Tetapi pada perkembangannya teori ini dibantah dan tidak diterima oleh sebagian besar masyarakat ilmiah karena ditemukannya bukti-bukti dan data-data yang membantah teori evolusi ini.

2. Kejadian Manusia Menurut Al- Qur’an.
Banyak ayat-ayat Al- Qur’an yang menyebutkan tentang kronologis terjadinya manusia, diantaranya yaitu “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati dari tanah.” (Qs. Al- Mu’minun:12) dan ayat “Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan . Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur” (Qs. Al- A’raf: 189) kedua ayat ini mengidentifikasikan bahwa manusia pertama kali yaitu Adam, yang tercipta dari saripati tanah dan Setelah melakukan proses reproduksi dengan istrinya (Hawa) maka terciptalah keturunannya sebagai awal dari generasi manusia selanjutnya.
kemudian disambung dengan ayat “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan , maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” (Qs. Al- Hajj: 22)
Ayat ini dengan jelas menyebutkan secara detai bagaimana manusia itu diciptakan dengan proses perkembangannya. Secara tidak langsung ayat ini juga meruntuhkan pandangan Darwin mengenai teori evolusi manusia.

EKSISTENSI MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SUBYEKTIF INDIVIDUAL
Seiirng dengan perkembangan fisiologi manusia, berkembang pula rasionalitas sebagai prosesor super canggih yang dibenamkan didalam mainboad yang berwujud jasmani manusia. Dari rasional inilah ditelurkan ide-ide abstrak yang menjadikan manusia berpacu pada harapan-harapan ilusi. Sehingga Hegel seorang filosuf mendasarkan filsafalnya berdasarkan idealisme manusia. Dia berpendapat …..
Salah satu pengagum pemikiran idealisme hegel adalah Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855). dia mengagumi pemikiran Hegel karena filsafatnya mampu memberikan jawaban yang sangat mendalam dan menyeluruh tentang sejarah umat manusia dalam perspektif yang baru pada waktu itu. Akan tetapi dalam proses perkembangannya kehidupan Kierkegaard yang pahit dan tragis ahirnya membawanya pada kesadaran dirinya mencari jawaban-jawaban persoalan hidup yang lebih kongret dan faktual yang di alami manusia sehari-hari. Seperti kesenangan, kecemasan, penderitaan, harapan, kebahagiaan adalah sebagian kecil persoalan yang tidak dapat terangkan, bahkan dipecahkan dalam kerangka pemikiran Hegel yang terlampau abstrak dan tidak bisa menjangkau persoalan tersebut.
Dari situ Kierkegaard menentang pendekatan idealisme Hegel dalam mengamati sejarah perkembangan ide manusia. Menurutnya, jika idealisme Hegel diterapkan dalam kehidupan, maka kita tidak ubahnya hanya sebagai penonton sebuah pertunjukan teater dunia. Yang hanya bisa mengamati dan memberi komentar atas kejadian-kejadian historis yang terjadi dipentas teater itu. Padahal seluruh manusia termasuk Hegel sendiri adalah aktor yang langsung maupun tidak langsung mengambil peranan penting di setiap alur cerita yang dimainkannya dalam pertunjukan itu. Dalam artian bahwa setiap individu pada asasnya harus mempunyai keterlibatan dan komitmen tertentu pada setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga manusia tidak hanya sebagai pengamat objektif melainkan pemeran aktif.
Objektivitas ini condong menjadikan manusia terjerumus dalam manusia massa yang memangkas segala kekreatifitasannya sebagai manusia yang bebas menentukan arah tujuan hidupnya. Eksistensi manusia pada dasarnya adalah individual, personal dan subjektif. Dengan demikian, maka manusia tidak dapat dijelaskan dalam kerangka abstraksi ide, teori-teori umum. Ataupun objektifitas pendekatan ilmiyah. Ideal dan objektif dari idealisme dan ilmu hanya cocok menjelaskan esensi dan gejala dasariyah gejala-gejala infra human (realitas diluar manusia) atau sesuatu yang bersifat fisik tetapi tidak bisa diberlakukan begitu saja pada eksistensi manusia. Menurut Kierkegaard eksistensi manusia itu melalui tiga tahap;

1. Tahap estetis
Pada tahap ini orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido), prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistic dan biasanya bertindak menurut suasana hati.

2. Tahap etis
Pada tahap ini manusia sudah mulai memperhatikan nilai-nilai etis dan mulai menerima kebijakan-kebijakan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya.

3. Tahap religius
Pada tahapan ini keotentikan hidup manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu itu dengan mata tertutup lompat dan meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektifitas transenden tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane

MAHLUK POTENSIAL
Murtadha Muthahari seorang ulama sekaligus filosuf dari Iran, menyebutkan bahwa semua mahluk selain manusia adalah mahluk de facto yaitu mahluk yang pasrah menerima apa adanya. Eksistensi mereka ditentukan oleh lingkungan eksternalnya. Lingkunganlah yang membentuk jati diri mereka. Apa peran mereka, bagaimana cara hidup dan untuk apa ia lahir didunia.
Cara berada mereka statis, mekanis (kuantitatif), determenistik (pasrah), dan tanpa kreatifitas sama sekali. Heidegger (filosuf Jerman) menyebutkan bahwa mahluk ini sebagai adaan (entitas, obyek, maujud) disebut adaan karena keberadaan mereka hadir begitu saja tanpa pernah mempertanyakan makna keberadaan mereka. Tidak ada lagi potensi-potensi yang perlu direalisasikan atau diwujudkan. Segalanya sudah pasti (deterministik) dan sudah selesai, tidak ada yang perlu diaktualisasikan atau disempurnakan.
Lain halnya dengan manusia, manusia adalah mahluk potensial yang berbeda dengan mahluk adaan-adaan tersebut. Manusia mempunyai kemungkinan-kemungkinan dan potensi-potensi yang masih tersembunyi didalam eksistensinya. kemungkinan-kemungkinan yang mampu diwujudkan manusia itu tidak terbatas dan tak terkirakan. Batasan-batasan itu ditentukan oleh diri kita masing-masing bukan oleh lingkungan eksternal. Misalnya saja keenggaan kita untuk berfikir serius, malas menambah pengetahuan, sudah merasa puas dengan apa yang telah kita capai dan sebagainya adalah sebagian dari hal yang menyebabkan pembatasan kita pada potensi kita sendiri. Demikian juga dengan potensi kearifan intelek, kepekaan hati nurani, dan kekuatan kehendak kita tak ada batasnya.
Menurut Muthahari, manusia bukanlah mahluk yang ditakdirkan sebelumnya (predestined) melainkan mahluk yang menentukan dan mentakdirkan apa yang dikehendaki dirinya sendiri. Manusia bebas menentukan untuk “menjadi apa” dan “menjadi bagaimana”. Manusia adalah mahluk yang serba dimensi, manusia merupakan arsitek dan perekayasa kepribadiaannya sendiri untuk menjadi apa yang dia inginkan. Menurut Heidegger manusia adalah satu-satunya sang ada yang mampu mempertanyakan makna keberadaannya, untuk apa mereka hidup, dan apa makna dibalik kehidupan ini?. Menurut Jalaludin Rumi, manusia adalah makrokosmos dimana dalan diri manusia tersimpul rahasia alam semesta.
Cara pandang-dunia (word view), cara hidup (way of life) dan cara berada (modus eksistensi) kita yang mencetak kita menjadi manusia yang kita inginkan. Manusia adalah mahluk yang belum selesai, kertika kita terlempar kedunia ini, kita tidak lain hanyalah rangkaian dari organ tubuh yang lebih kompleks dari pada hewan yang lain. Akan tetapi hakikat eksistensi manusia tidak terletak pada aspek biologis ini. Karena biologis hanya merupakan simbol dari nilai-nilai eksistensi yang tersembunyi. Terlebih lagi Muthahari menyebutnya sebagai latar belakang dari manusia sejati. Jadi ketika kita merayakan kelahiran bayi mestinya yang kita rayakan bukanlah aspek biologis bayi yang terdiri dari rangkaian organnya melainkan potensi-potensinya yang ia kandung kedalam eksistensinya.
Karena bagaimanapun juga, nasib kita itu bergantung pada potensi-potensi yang kita usahakan sendiri dengan melalui proses perjuangan yang terlalu berat “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs. Ar- Ra`d : 11)

HAKIKAT MANUSIA
Manusia merupakan mahluk yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk-mahluk lainnya. Karena dia dibekali dengan akal yang mampu menembus batas-batas tabir yang menghijab pengetahuan tentang eksistensinya. Dengan akalnya pula dia dibebani predikat sebagai kholifah yang bertugas mengatur kesejahteraan dunia. Walaupun tak jarang, karena nafsunya justru manusialah yang membuat kerusakan (Qs. Al Baqarah : 30)
Untuk mengukuhkan tugasnya manusia diajarkan oleh Allah berbagai ilmu (Qs. Al Baqarah : 31) yang merupakan sarana bagi manusia untuk merengkuh kebijaksanaan, kesempurnaan diri dan kebahagiaan hidup didunia dan akhirat. Yang kemudian oleh Plato dengan teori pengetahuannya menyebutkan bahwa “pengetahuan adalah fungsi mengingat kembali informasi-informasi yang lebih dahulu diperoleh di alam ide”. Karena ketika jiwa yang berhubungan dengan alam ide itu turun dari alam imaterialnya untuk disatukan dengan badan maka hilanglah pengetahuan yang dulu diperoleh di alam ide.
Pengetahuan manusia yang motori oleh akal ini masih memungkinkan manusia terjerumus kedalam lembah kesesatan karena dorongan dari nafsu yang mendominasi jiwanya, oleh karena itu Tuhan mengutus utusan (Rosul) yang membawa risalah ketuhanan berupa hukum-hukum dan aturan tertentu yang termaktub didalam kitab suci sebagai pedoman hidup dalam upaya katarsis menuju kesempurnaan hidup.
Hakekat diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kapada Tuhannya (Qs. Ad- Dhariyat : 56) yang merupakan implementasi dari ikrar perjanjian primordial yang telah disepakati antara Khaliq dan Mahluq (Qs. Al- A’raf :172). adapun realitas materi yang selalu kita puja-puja dan kita banggakan tak lain hanyalah sebagai pernik-pernik perhiasan hidup sebagai cover pemanis kehidupan.
Hakikat eksistensi manusia adalah jiwa (ruh)nya (Qs. As- shâd : 72) yang berasal dari ruh Tuhan yang bersifat kekal dan takkan pernah mati. Badan hanyalah sebagai pembungkus yang pada ahirnya menjadi bangkai sebagai santapan oleh bakteri pengurai. Dalam pepatah jawa sering didengungkan bahwa “urip ning dunyo iku laksono mampir ngombe”. Falsafah ini mengandung pengertian bahwa realitas kehidupan didunia hanyalah sementara sedangkan kehidupan di akhirat adalah selama-lamanya.
Akhir kehidupan manusia, apakah dia termasuk orang–orang beruntung ataukah termasuk golongan orang-orang yang merugi ditentukan oleh usaha dan katarsisnya sewaktu hidup di dunia. Kehidupan di dunia tak ubahnya seperti orang yang sedang melakukan ujian seleksi, adapun lulus tidaknya, bagus atau jelek nilainya ditentukan oleh kadar usaha masing-masing personal untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Bagi yang lulus dan nilainya bagus maka peluang untuk mendapatkan surga kenikmatan terbentang luas.
KESIMPULAN
Manusia dengan berbekal akal rasionalitasnya mempunyai potensi ataupun peluang untuk menjadi apa yang diinginkan. Karena manusia adalah mahluk potensial yang tak terbatas. Keberhasilan manusia ditentukan oleh sejauh mana usahanya memupuk dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada. Sehingga kesempurnaan hidup bisa dicapai, tanpa harus mengabaikan hakikat eksistensinya sebagi pengabdi Tuhan. Yang akan dimintai pertanggung jawaban atas amanah yang diberikan kepadanya sebagai kholifah sejati dimuka bumi ini. Karena realitas kehidupan tidak mandek pada materialis duniawi yang hakikatnya niscaya, terlebih lagi kita harus berupaya menyongsong kehidupan masa depan kita sebagai insan kamil yang merengkuh kebahagian di dunia maupun di akhirat……

REFERENSI
zainal Abidin, Filsafat Manusia. Remaja Rosdakarya
Husein Heriyanto. Makalah Kaji Filsafat "Manusia Menjadi". Transkrip dari program siaran Kaji Filsafat di Radio KIS 107,2 FM

Google Siapkan Komputer Kuantum Masa Depan


Saat ini mesin pencarian Google bisa dibilang yang terbaik di dunia. Namun, sebenarnya komputer-komputer server yang digunakan sama saja dengan perusahaan lainnya. Kira-kira bagaimana kalau Google menggunakan komputer masa depan yang jauh lebih hebat dari teknologi komputer saat ini?
Seperti ditulis dalam blog, kepala tim pengenalan citra Google, Harmut Neven, mengungkap teknologi komputer kuantum yang sedang dikembangkan Google. Diam-diam Google sudah melakukannya dalam tiga tahun terakhir bersama D-Wave, sebuah perusahaan Kanada yang telah mengembangkan cip kuantum bernama Chimera.
Salah satu aplikasi teknologi tersebut adalah kemampuannya mendeteksi obyek dari foto dan video yang ada di database. Dalam konferensi Sistem Pemrosesan Informasi Neural, tim pengembang kedua perusahaan melaporkan keberhasilannya membuat algoritma untuk mendeteksi mobil di foto untuk cip tersebut.
Algoritma itu “dilatih” untuk mengenali bentuk mobil dengan menghadapkannya kepada 20.000 foto jalanan, masing-masing setengah yang ada gambar mobil dan setengah lainnya tidak. Hasilnya, algoritma yang dibuat bisa memilah dengan tepat foto yang ada mobilnya dan yang tidak dalam waktu satu detik.
“Ia menyeleksi gambar-gambar yang ada mobilnya dengan kecepatan jauh lebih hebat daripada komputer konvensional, jauh lebih cepat dari komputer mana pun yang ada di data center Google,” ujar Neven.
Kelak suatu saat komputer ini digunakan, kecepatan layanan pencarian Google bakal jauh lebih dahsyat dan jauh lebih pintas dari layanan yang ada saat ini. Kapan itu terjadi, semoga tak lama lagi.

Reference
http//:www.infogue.com

Antara Cinta Kepada Tuhan dan Cinta Kepada Sesama



Pendahuluan
Kita ketahui bahwa esensi agama bukanlah hanya bersifat bathin saja, akan tetapi juga bersifat dhohir. Agama tidak hanya mengajarkan aspek ubudiyyah saja, akan tetapi agama juga mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kehidupan yang dituangkan dalam kegiatan bermasyarakat atau bersosial. Dua aspek tersebut, umunya dinamakan sebagai habl min allah dan habl min al-nâs. Dalam agama-agama kedua hal ini sangat ditekankan, khususnya dalam Islam. Bahkan jikalau salah satu dari keduanya ada yang tidak teraplikasi, maka bisa dikatakan bahwa keberagamaannya tidak lengkap atau sempurna.
Di dalam Islam, kedua hal ini sangat dijadikan tolok ukur keberhasilan seseorang dalam merengkuh kebaikan. Akan tetapi karena secara fitrah keduanya bersifat personal, dalam artian hanya diri kita sendiri yang dapat menggalakkannya. Melihat pada aspek habl min allah, maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa semua disiplin ilmu dalam Islam menyinggungnya, akan tetapi menyikapi pada habl min al-nâs, maka pembahasan ini lebih ditekankan pada disiplin ilmu akhlak. Akan tetapi bukan berarti disiplin ilmu lainnya tidak menyinggung pada diskursus ini. Kita lihat pada filsafat misalnya, pembahasan tentang habl min al-nâs tercurahkan pada salah satu cabang teoritisnya yaitu pada pembahasan moral manusia.
Lantas bagaimana dengan tasawud atau ‘irfan? Selama ini orang selalu beranggapan bahwa tasawuf atau ‘irfan hanya berkutat pada aspek ubudiyyah saja atau habl min allah, yakni bagaimana cara seorang manusia memahami Tuhannya, yang kemudian telah melupakan sendi-sendi kehidupan sosial atau habl min al-nâs. Apakah benar tasawuf seperti itu? Ataukah pandangan ini ada diakibatkan oleh nalar subyektif belaka? Pepatah mengatakan bahwa “Tak kenal maka tak sayang”, seperti itulah apa yang terjadi selama ini, beberapa orang yang kurang mengetahui esensi dari tasawuf dengan serta merta mengklaim tentang apa yang ada dalam tasawuf.
Makalah ini sedikitnya akan memberikan argumentasi tentang keikutsertaannya habl min al-nâs dalam ajaran tasawuf. Selain itu makalah ini juga akan membahas tentang relasi habl min allah dan habl min al-nâs, dengan tujuan untuk menepis nalar subyektif terhadap pandangan bahwa tasawuf hanya mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan spiritual yang bersifat individual saja, yang selama ini telah menyebar dalam masyarakat, Insya Allah.

Cinta Dalam Tasawuf
Dalam aspek tasawuf, intinya adalah bagaimana kita memahami realitas Tuhan kita, tentu jika kita ingin memahami Tuhan kita maka modal awal yang harus kita miliki adalah cinta, dalam bahasa tasawuf, cinta dimaknai sebagai kedermawanan/charity/الكرام. Cinta adalah sebuah pemberian tanpa mengharapkan suatu imbalan sedikitpun, maka dari itu, ketika kita melihat bentuk legitimasi cinta yang masih didasari oleh sikap pamrih maka itu bukanlah cinta, karena bentuk rasa ikhlas yang kita tuangkan dengan tidak mengharapkan pamrih tersebut sudah terdistorsi.
Salah satu bentuk contoh dari cinta yang paling rendah adalah seperti seorang ibu yang rela melahirkan anak yang ia kandung, kemudian menyusuinya dan mendidiknya sampai anaknya tumbuh menjadi dewasa. Kesemuanya adalah bentuk kasih sayang dan cinta seorang ibu terhadap anaknya, dan hampir sikap tersebut di miliki oleh semua wanita. Akan tetapi, jika perasaan cinta tersebut dalam perkembangannya dipengaruhi oleh rasa pamrih, seperti contoh jika anaknya sukses dalam pekerjaannya maka ibu tersebut ingin meminta anaknya untuk membiayainya untuk beribadah haji. Maka secara otomatis gugurlah esensi cinta tersebut. Akan tetapi, rasa dari kedermawanan cinta itu sering juga disalah artikan, bentuk dari pemberian tanpa pamrih tersebut banyak dipahami sebagai sikap yang pasrah atau pasif terhadap segala sesuatu yang membahayakan, seperti contoh seseorang yang rela didholimi tanpa bentuk perlawanan. Maka bukan seperti itu cinta yang ditekankan oleh tasawuf, bahkan itu sama sekali bukanlah praktek dari cinta, akan tetapi hal tersebut adalah bentuk praktek dari kepasrahan.
Cinta dari segi obyeknya dapat dibagi menjadi dua, yang pertama adalah cinta terhadap Tuhan atau habl min allah dan cinta terhadap manusia sesama atau habl min al-nâs.

Cinta Terhadap Tuhan/ Habl Min Allah/Vertical Love
Dalam tasawuf, kedermawanan/charity/الكرام esensinya adalah mencintai Tuhan/vertical love, yang lebih daripada apapun termasuk diri kita sendiri, yang kemudian diikuti dengan bentuk cinta terhadap sesama manusia yang mana harus sama dengan cinta kepada diri kita sendiri. Awal dari cinta adalah mencintai Tuhan, karena ketika manusia sudah dapat mengaplikasikan mencintai Tuhan, maka mencintai sesama dapat berarti. Ini sejalan dengan pandangan tasawuf yakni Tuhan sebagai pusat dari segalanya atau theosentrisme. Akan tetapi bukan serta merta menolak pandangan antroposentrisme, karena tasawuf tetap memperhatikannya, hanya saja lebih ditekankan theosentrisme untuk memandang sesama, artinya kita melihat manusia sesama melalui kacamata Tuhan.
Jadi intinya, dalam tasawuf habl min allah harus dijalankan terlebih dahulu sebelum kita menjalankan habl min al-nâs. Akan tetapi realitanya dewasa ini habl min allah seringkali terlupakan dengan habl min al-nâs. Sebesar apapun habl min al-nâs yang kita lakukan akan tetapi jika kita lalai terhadap habl min allah maka habl min al-nâs kita menjadi tidak berarti. Seperti contoh orang-orang di masa kini yang berzakat/bershadaqah akan tetapi lalai atas shalatnya, maka dari bentuk kelalaiannya atas shalat yang merupakan representatif dari habl min allah ini seringkali mendistorsi niat dari zakat atau shadaqah yang ia lakukan. Akibatnya, sikap-sikap yang tidak terpuji kerap menyelimutinya, seperti riya’. Maka hal ini kita maknai sebagai politisasi habl min al-nâs.
Imam ‘Ali zainal ‘Abidin as dalam Risâlah Al-Huqûq-nya mengatakan: “bahwa hak Allah yang paling besar atasmu (manusia) adalah dengan mengabdi (beribadat) dengan-Nya serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Jika kau kerjakan itu dengan tulus ikhlas, maka Ia pun akan mewajibkan atas diri-Nya untuk menyelesaikan segala urusan dunia dan akhiratmu, dan menjaga apa-apa yang kausukai.”[1]
Bentuk dari pengabdian kita sebagai manusia tentunya berawal dari sebuah rasa cinta yang ikhlas kepadanya, karena atas dasar keihkhlasan tersebut kita dapat tulus mengabdi kepada-Nya. Kalau kita sudah tulus mengabdi kepada-Nya, maka urusan dunia kita akan dimudahkan, tidak terkecuali mengenai habl min al-nâs.

Cinta Terhadap Sesama/ Habl Min Al-Nâs/Horizontal Love
Tentang cinta terhadap sesama, telah disinggung di atas bahwa seyogyanya cinta terhadap sesama atau habl min al-nâs jika dibandingkan dengan habl min allah, maka habl min al-nâs menempati posisi sekunder dan habl min allah menempati posisi primer. Juga telah disampaikan bahwa cinta terhadap sesama adalah harus sama dengan mencintai diri kita sendiri, artinya memposisikan diri kita sama dengan diri orang lain. Banyak dari orang-orang yang salah pengertian terhadap hal ini, mereka melegitimasi bahwa menyamakan posisi kita dengan orang lain adalah bentuk kedhaliman terhadap diri kita sendiri. Padahal sebenarnya ini adalah pembuktian bahwa kehidupan spiritual adalah bukan semata-mata yang mempunyai sifat personal, akan tetapi kehidupan spiritual juga memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan.
Rasulullah saww bersabda: “Sebaik-baiknya dari kalian adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya/khairakum anfa‘uhum li al-nâs.” Contoh sederhananya dapat dari pernyataan tersebut kita lihat yakni pada rumah tangga Imam ‘Ali as dengan sayyidah Fatimah Zahra as beserta anak-anaknya ‘Imam Hasan as dan ‘Imam Husein as. Dikisahkan ketika pada bulan Ramadhan menjelang senja mereka telah menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, makanan tersebut adalah dua potong roti dan empat biji kurma yang masing-masing roti tersebut dibagi menjadi dua, sehingga pas satu orang mendapatkan satu. Tatkala ketika waktu berbuka sudah mereka dapati, maka terdengar suara ketukan pintu rumah mereka. Mendengar suara itu, Imam ‘Ali membukanya, ternyata tamu mereka adalah seorang pengemis tua dan seorang anaknya. Pengemis itu meminta sedikit makanan untuk mereka makan sebagai pengenyang perut mereka dikala berbuka puasa. Melihat hal itu, Imam ‘Ali dan keluarganya merelakan semua roti yang mereka miliki untuk pengemis dan anaknya. Doa dan pujian dipanjatkan oleh pengemis tersebut untuk mereka, maka seketika setelah pengemis itu pergi dan berterima kasih, Jibril as memberi mereka makanan surga.
Hikmah yang dapat kita ambil dari kisah tersebut tentu bukanlah ingin meminta atau mengharap balas jasa kepada Allah atas perbuatan baik yang kita lakukan, hal ini kerap terjadi di kalangan masyarakat kita. Akan tetapi, hikmah dari kisah tersebut adalah bahwa mereka as telah mengaplikasikan habl min al-nâs sebagai realisasi dari bentuk kecintaan mereka terhadap Allah/habl min allah, tentu hal ini yang dikehendaki oleh tasawuf, yang selama ini banyak disalah-artikan oeh beberapa golongan.
Kesimpulan
Pelajaran yang dapat kita ambil dari semua yang sudah dijelaskan di atas adalah bahwa kehidupan spiritual tidak semata-mata bersifat individual atau privat, sehingga melupakan aspek-aspek sosial yang memang itu juga dituntut untuk dijalani oleh manusia. Tasawuf bukanlah hanya bahasan-bahasan metafisik saja, tasawuf bukanlah hanya sebuah diskurusus yang menegasikan kehidupan sosial. Karena seperti yang dijelaskan oleh tasawuf di atas, bahwa kehidupan sosial yang akrab dengan sebutan habl min al-nâs merupakan bagian dari kecintaan kita terhadap Tuhan.
Keseimbangan antara keduanya adalah merupakan bentuk relasinya, yang mana keduanya tidak boleh ditinggalkan dengan tetap menitikberatkan kepada habl min allah yang merupakan pusat dari semuanya. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Al-Qur’an mengenai perintah shalat. Perintah untuk menjalankan shalat selalu digandengkan dengan kewajiban kita untuk menunaikan zakat, aqîmû al-shalah wa athî‘û al-zakah., yang mana perintah mengerjakan shalat disimbolkan sebagai kecintaan terhadap Allah dan perintah menunaikan zakat ditafsirkan sebagai kecintaan terhadap sesama. Ini mengindikasikan bahwa doktrin tasawuf sejalan dengan Al-Qur’an. Maka dari itu selayaknya orang-orang yang menilai tasawuf sebagai ajaran yang tabu terhadap kegiatan bermasyarakat, harus merubah pandangannya, dan menganggap tasawuf sebagai contoh ilmu universal yang mengungkap aspek bathin dan dhohir dalam agama.


[1] Muhammad Al-Baqir, Ulama, Sufi dan Pemimpin Umat Hidup dan Pikiran Ali Zainal Abidin Cucu Rasulullah (Bandung: Mizan 1982) Hal: 96

Fenomena Ritual kurban dalam Agama



Arti Kurban
Apa makna dari adanya upacara kurban? Apa manfaat dari diadakannya upacara kurban? Upacara kurban adalah merupakan suatu ritual yang memberikan persembahan-persembahan berupa makanan dan minuman dari manusia kepada suatu makhluk yang supranatural. Maka tentu saja ritual ini berbeda sekali dengan memberikan persembahan-persembahan kepada para penguasa lain seperti contohnya membayar pajak atau upeti.[1] Upacara kurban ini merupakan suatu praktek komunikasi non-verbal antara manusia kepada makhluk supranatural tersebut. Kebanyakan dari upacara kurban yang dilakukan adalah untuk tukar menukar yang diberikan oleh manusia kepada makhluk supranatural tersebut.
Tentu saja pertukaran tersebut tidaklah selalu diartikan secara horizontal yang selama ini kita lakukan kepada antar manusia, yakni kita memberi sesuatu barang kemudian orang yang kita beri juga membalasnya dengan barang. Akan tetapi pertukaran tersebut dilakukan untuk menyatakan syukur, menyembah dan memberi penghormatan, merayakan acara khusus dan menebus dosa. Intinya pertukaran tersebut diadakan hanya untuk menjalin hubungan antara si pemberi dan yang menerima. Adat pertukaran hadiah yang selama ini terjadi diantara sesama manusia secara tidak langsung juga terpraktekkan tidak hanya kepada sesama manusia saja. Melainkan terjadi antara manusia kepada dewa-dewanya atau Tuhannya dalam bentuk ritual kurban.

Upacara Kurban dalam Hinduisme
Dalam Hinduisme, tindakan religius pada hakikatnya adalah pengurbanan yang merupakan suatu tindakan penghormatan kepada dewa-dewa dalam peribadahan. Upacara kurban tersebut adalah berupa persembahan hadiah dengan maksud untuk memperoleh keuntungan-keuntungan dari Tuhan, seperti kemakmuran, kesehatan, panjang umur, ternak, keturunan laki-laki dan lainnya.[2] Beberapa contoh dari adanya upacara-upacara kurban di Hindu adalah mengacu kepada suatu permohonan, seperti contoh Upacara Kurban Veda.
Beberapa bagian dari sesajian/persembahan tersebut dilempar ke dalam api, sedangkan sisanya dimakan habis oleh para petugas upacara, yang kesemuanya diinginkan hanya untuk memberikan permohonan kepada Tuhan selaku yang mengabulkan dan juga kepada para petugas upacara yang merupakan imam yang berlaku sebagai perantara dari dewa. Beberapa contoh dari Upacara Kurban Veda yang paling meriah adalah ‘Kurban kuda/Ashvamedha’. Upacara ini merupakan apesta kerajaan dan terkenal, yakni diadakan untuk dimohonkan kepada Tuhan agar kerajaan dan rakyatnya memperoleh kemakmuran dan kesejahteraan. Sebagai manifestasi dari kewibawaan dan kejayaan kerajaan, upacara ini diselenggarakan oleh seorang raja yang menang atau raja yang ingin memenangkan peperangan.[3]

Upacara kurban dalam Islam
Sedangkan dalam Islam sendiri, ritual yang lebih banyak dilakukan untuk menjalin hubungan vertikal antara Tuhan dengan makhluknya adalah dengan cara shalat. Layaknya seperti upacara pengurbanan yang dilakukan agar dapatnya kita akan suatu permohonan, bersyukurnya kita akan suatu karunia Tuhan dan lainnya, maka shalat ini juga bisa kita katakan sebagai ritual pengurbanan juga. Lantas apa yang dipersembahkan kepada Tuhan dalam shalat mengingat tidak ada benda yang diberikan? Persembahan itu menurut pemakalah adalah diri kita sendiri. Kita memasrahkan diri kita dengan tunduk kepada keimanan dan ketaatan dengan harapan kita mendapat karunia Tuhan atau juga sebagai puncak rasa syukur kepada-Nya.
Akan tetapi meskipun begitu, bukan berarti dalam Islam tidak terdapat suatu contoh praktek dari ritual upacara kurban. Berdasarkan kriteria upacara kurban menurut Mariasusai Dhavamony, yakni adanya pertukaran yang diberikan oleh manusia kepada makhluk supranatural, maka secara eksplisit hanya upacara kurban yang dilaksanakan pada hari raya Idul Adha-lah yang termasuk dalam kriteria upacara kurban.
Akan tetapi pertukaran tersebut sifatnya tidak secara dhohir yakni si manusia memberikan barang sesajiannya kepada Tuhannya layaknya di Hindu. Melainkan pertukaran tersebut terjadi secara bathin atau mudahnya dapat kita maknai sebagai pertukaran niat, yakni kita mengurbankan hewan ternak dengan maksud sebagai apresiasi syukur kepada tuhan karena telah diberikan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji (mengingat sebagian besar yang melaksanakan upacara kurban ini adalah para jemaah haji) dan sedangkan benda yang dikurbankan yang berwujud hewan ternak tersebut dibagikan kepada khalayak ramai, akan tetapi tidak dapat kita generalisir-kan seperti itu, mengingat faktanya upacara kurban ini juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak berangkat menunaikan ibadah haji. Mengapa mereka yang tidak melakukan haji juga ikut melakukan upacara kurban? Hal ini terjadi karena ritual upacara kurban tersebut merupakan suatu peristiwa yang telah terjadi pada dahulu kala yang dilakukan oleh salah satu nabi mereka yakni Ibrahim as. Maka secara serta merta tindakan ini ditiru oleh umat Islam setiap tahunnya


[1] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama ((Yogyakarta: Kanisius, 1995) Hal: 214
[2] Ibid, Hal: 208
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama ((Yogyakarta: Kanisius, 1995) Hal: 209

Pesan Penting di dalam Muharram




Muharram, nama tersebut sudah tidak asing lagi bagi kita, tiap setahun sekali sebagai umat muslim kita merayakannya, kita menyambutnya dan kita menghormatinya. Akan tetapi dalam bentuk perayaan tersebut terjadi dalam berbagai macam, selain itu Muharram tidak juga selalu dikenal sebagai bulan yang membahagiakan hanya karena hijrahnya Rasul saww ke Madinah mendapatkan sambutan yang hangat dan menyenangkan. Pasalnya di bulan Muharram juga dimaknai sebagai bulan kesedihan dan tangisan Nabi dan Ahlulbait-nya as, yakni atas Syahidnya cucunda Nabi Al-Imam Husein ibn ‘Ali ibn Abi Thalib as. dengan memberikan pembelaan yang tinggi atas agama datuknya Rasulullah Muhammad saww, yakni Islam.
Tentu saja gerakan pembelaan yang bersifat suci itu hanya diperuntukkan untuk masa depan umat Islam yang akan datang, dimana pada masa itu kedhaliman berubah menjadi keadilan, kemurtadan menjadi keimanan, uang menjadi laksana Tuhan. Oleh karena itu gerakan Imam Husein pada bulan Muharram ini adalah gerakan yang berangkat dari logika, hati nurani, pertanggungjawaban seorang hamba yang teguh keimanannya atas agama Allah, kecintaan pada keadilan, anti terhadap kedhaliman dan motif-motif luhur lainnya.
Sehingga sampai-sampai Sang Imam rela syahid dengan keadaan tanpa kepala hanya untuk membangkitkan semangat juang dan kesadaran umat Rasulullah untuk keluar dari koridor kejahiliyahan yang secara tidak langsung terulang lagi pada masa itu. Dengan misi mulianya itu Imam memboyong keluarganya untuk menunjukkan di mata kaum muslimin bahwa “haihât minnâ al-dhillâh/manalah mungkin kami ahlulbait rela tunduk kepada kedhaliman”
Dari segala macam bentuk perayaan Muharram, hanya hari Asyura’[1]-lah yang memiliki tempat yang paling tinggi di hati umat muslim. Ada yang berupaya untuk menghidupkan hari Asyura’ dengan cara menyantuni anak yatim, para janda yang kurang mampu dan fakir miskin. Hal ini tentu saja terkait dengan peristiwa syahidnya Imam Husein beserta sahabat-sabahat setianya dan keluarga dekatnya yang mana atas peristiwa ini anak-anak mereka harus menjadi yatim, istri-istri mereka menjadi janda dan ditawan oleh para pasukan Yazid ibn Muawiyah. Walaupun ini sedikit mendistorsi tentang hakikat Asyura’ akan tetapi dapat kita maknai bahwa Asyura’ senantiasa membekas di hati umat muslim yang cinta akan kedamaian meskipun hal itu sudah terjadi ratusan tahun yang lalu.
Ada juga yang melangsungkan prosesi hari Asyura’ dengan cara melantunkan kalimat-kalimat pujian atas syahidnya Imam Husein dan para pendukungnya di medan laga. Maka otomatis menangisi kesyahidan mereka diyakini sebagai upaya penghormatan yang tinggi dan kesedihan yang amat dalam, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dalam riwayatnya:
Dari Ummu Fadhl ibn Harits: ketika Sayyidah Fathimah Al-Zahra as baru melahirkan anak keduanya, aku melihat Rasulullah datang dan meletakkan bayi itu ke pangkuannya, ketika aku menoleh kepada beliau, aku melihat kedua mata beliau mencucurkan air mata. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, ada apa denganmu?”, beliau menjawab, “Tadi Jibril as datang dan memberitakan kepadaku bahwa umatku akan membunuh cucuku ini, dan Jibril memberiku tanah dari tanahnya yang berwarna merah ini”
Muharram, sebagai bulan yang mulia atas segala larangan-Nya untuk berperang justru menjadi sarana pembantaian oleh tentara Yazid ibn Muawiyah. “Umat Muhammad membunuh Muhammad”, inilah pelajaran besar yang dapat kita ketahui dari bulan Muharram.
Amar ma’ruf nahi munkar menjadi stimulus utama atas gerakan penentangan kedhaliman yang dilakukan oleh Imam Husein as, perjuangan menjadi senjata utamanya, dan tawakkal kepada Allah menjadi keteguhannya. Muharram mendapati tempat yang utama di hati umat muslim yang mencintai keadilan berkat Imam Husein. Semoga di Bulan Muharram ini kita dapat benar-benar memaknai hakikat Muharram itu sendiri dengan bersyukur kepada Allah atas rahmat-Nya yang telah menjadikan kita pendukung setia Imam Husein. Atas adanya perjuangan di bulan Muharram yang senantiasa akan terus bersinar di relung dada seorang muslim sejati ini, maka selayaknya dapat kita katakan bahwa “setiap hari adalah Asyura’ dan setiap bumi adalah Karbala’”.

Meneladani Keistimewaan Nabi Muhammad saww



Pendahuluan
Siapa yang tidak mengenal seorang yang bernama Muhammad di dunia ini? Siapa yang tidak mengetahui keteladanan Muhammad di dunia ini? Dan siapa pula-lah yang tidak mengetahui kehormatan nama seorang Muhammad di muka bumi ini? Beliau adalah salah seorang hamba pilihan yang mendapat gelar habîb al-llâh karena kedekatannya dengan Allah swt. Tentu nama besar Muhammad amat sangat diakui oleh semua kalangan. Apapun statusnya, apapun tradisinya, apapun agamanya, semuanya mengetahui kredibilitas Muhammad saww.
Menanggapi tentang rasulullah Muhammad saww, maka ada beberapa kekhususan yang beliau miliki daripada nabi-nabi lain. Salah satunya yakni dikenangnya hari kelahiran beliau, sebagai hari yang menggembirakan yang seakan-akan telah membuka tabir kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, dan hal ini memang terbukti benar. Karena beliau mampu merubah tradisi, adat, budaya atau kebiasaan-kebiasaan masyarakat Arab jahiliyyah menjadi masyarakat yang berpendidikan, berpredikat mulia dan diakui keistimewaannya hanya dalam kurun waktu 21 tahun, sehingga beliau bersabda:
“Sebaik-baiknya bangsa adalah bangsa Arab, dan sebaik-baiknya klan adalah klan Bani Hasyim”
Apa yang menjadikan bangsa Arab istimewa? Jawabannya adalah karena mereka mendapatkan anugerah atas penempatan Rasulullah saww sebagai bangsa Arab. Lalu mengapa Bani hasyim adalah klan yang paling utama dari klan-klan Arab lainnya? Karena Risalah kenabian ada di dalam tubuh nasab Bani Hasyim. Bahkan beberapa dari ulama juga mengatakan lebih dari itu, karena tampuk keimamahan juga berada dalam silsilah klan Bani Hasyim.
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengungkap beberapa keutamaan-keutamaan dan akhlak Rasulullah saww dalam segala aktifitasnya. Dengan tujuan untuk mengenang kembali kemuliaan Rasulullah Muhammad saww dihari kelahirannya. Semoga makalah yang jauh dari kesempurnaan ini dapat memiliki berkah atas beliau dan keluarganya, amin.

Beberapa Kekhususan dan Keistimewaan Nabi saww di mata Allah swt.
Banyak ulama yang alam kitab-kitab manaqibnya mereka menyebut kekhususan dan keisitmewaan junjungan kita Nabi Besar Muhammad saww. Mereka menngatakan antara lain: “Alam Wujud ini diciptakan oleh Allah swt demi Rasulullah saww.” , beberapa hadits tentang keutamaan terserbut adalah:
“Setelah Adam berbuat kesalahan (melanggar larangan Allah) ia mohon: “Ya Rabb, demi kebenaran Muhammad Engkau Mengampuni Dosa kesalahanku.”. Allah bertanya: “Bagaimana engkau mengenai Muhammad?” Adam Menjawab: “Ketika Engkau menciptakanku dengan tanganMu dan setelah Engkau tiupkan bagian dari ruh-Mu kepadaku, kuangkatlah kepalaku klulihat pada penyangga arsy termaktub: LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH. Aku mengerti bahwa engkau tidak akan menempatkan nama lain di samping nama-Mu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, Allah menjawab: “Hai Adam, engkau benar. Kalau bukan karena Muhammad Aku tidak menciptamu.”
Imam Asyakir meriwayatkan sebuah hadits dari Salman Al-Farisy, bahwa ia (Salman) pernah mendengar sendiri penjelasan yang pernah diberikan oleh Rasulullah saww, bahwasanya pada suatu hari turun malaikat Jibril kepada beliau lalu berkata:
“Allah Tuhanmu berfirman kepadamu: “Jika Aku dahulu telah mengangkat Ibrahim sebagai Khalil (Nabi yang terdekat), sekarang engkau telah kuangkat sebagai habib (kekasih). Aku tidak menciptakan makhluk apa pun yang lebih mulia di sisi-Ku daripadamu. Dunia dan semua penghuninya Kuciptakan untuk Kuperkenalkan mereka akan kemuliaanmu dan kedudukanmu di sisi-Ku. Jika bukan karena engkau dunia ini tidak Kuciptakan!”
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Firman Allah tersebut telah meastikan bahwa Muhammad saww adalah rahmat bagi aalm semesta, dan untuk mewujudkan rahmat itu Allah menciptakan alam semesta. Jadi alam semesta ini adalah pengejawantahan, manifestasi atau perwujudan rahmat Ilahi. Karenanya tidak keliru jika dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan demi rahmat yang terkait padanya, yakni Muhammad saww.

Keutamaan Nabi Muhammad saww Lainnya
· Muhammad saww adalah Nabi dan Rasul satu-satunya yang berketurunan sepanjang Sejarah Zaman
Sejak Allah menciptakan Adam hingga Muhammad saww, di antara mereka yang silsilah keturunannya berdata lengkap dan jelas hingga dapat kita ketahui di zaman dewasa ini hanyalah rasulullah Muhammad saww. Dalam hal itu, yang lebih khusus lagi bahwa tak ada seorangpun dari keturunan beliau yang menjadi penganut agama lain selain agama bawaan beliau, yakni Islam.
Berkaitan dengan hal ini, dapat kita ketahui bahwa Al-Qur’an pun juga membahas tentang karunia yang Allah berikan kepada beliau atas keturunan yang beliau miliki:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni'mat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus (keturunannya) .” (QS. Al-Kautsar: 1-3)
Ada beberapa riwayat mengenai sebab turunnya surat tersebut. Antara lain adalah: ketika putra Nabi Qasim wafat dalam usia yang masih kecil, kaum musyrikin Quraisy (antara lain Walid ibn AL-Mughirah, Wa’il ibn Al-Ash) mengejek beliau dengan mengatakan bahwa “Muhammad tidak memiliki keturunan. Maka Rasulullah sangat bersedih mendengar hal itu, kemudian turunlah wahyu tersebut sebagai lawan tanding dari perkataan kaum Quraisy tersebut.
Sehingga putri beliau saww Sayyidah Fathimah Al-Zahra disebut-sebut memiliki gelar Al-Kautsar/yang banyak keturunannya dikarenakan telah memberikan keturunan Bani hasyim yang banyak hingga dapat kita jumpai saat ini.
Terdapat beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pendukung penafsir kata al-kautsar diartikan sebagai keturunan yang banyak. Alasan pertama adalah konteks sebab turunnya surat itu sendiri, yang terkait atas sikap Nabi terhadap ejekan kaum Quraisy. Alasan kedua adalah kata “Al-Abtar” tidak akan menjadi bermakna jika kata “Al-Kautsar” tidak dipahami sebagai kata yang mencakup makna keturunan yang banyak. Alasan ketiga adalah kata “Al-Inhar/Wanhar” yang berarti sembelihlah binatang ternak. Dalam konteks kelahiran anak, hal ini dimaknai sebagai aqiqah, yang merupakan bukti syukur kita atas kelahiran seorang anak.

· Bershalawat Kepadanya
Keutamaan lain yang di miliki oleh rasulullah saww salah satunya adalah tuntutan agar kita bershalawat kepadanya. Sebagaimana yang telah dikutip dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi . Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab: 56)"
Dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Allah pun dan para malaikatnya bershalawat untuk Rasulullah saww. Hal ini dikarenakan karena kemuliaan Rasulullah yang jelas telah melampaui para Nabi-Nabi lainnya.
Ketika turunnya ayat tersebut, para sahabat menanyakan kepada Rasulullah: “Kami tahu bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, namun kami belum tahu bagaimana bershalawat kepadamu.”
Maka Rasulullah menjawab: “Katakan Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa ‘ali Muhammad.”
Apa tujuan dari shalawat yang sesungguhnya? Mengapa kita dianjurkan utnuk melakukan shalawat? Beberapa ulama mengatakan bahwa faedah shalawat adalah bagaikan membuka pintu rahmat Allah swt untuk yang mengucapkannya. Bershalawat diyakini dapat menjauhkan kita dari perbuatan yang kurang baik, menjauhkan kita dari godaan Setan. Dalam riwayat dikatakan bahwa sekeras apa kita membaca shalawat maka sebesar itulah perisai yang kita miliki untuk menangkis segala godaan dari Setan.
Shalawat juga dikatakan mempunyai pahala yang sangat tinggi. Diriwayatkan pernah Rasulullah bertemu dengan seorang malaikat yang memiliki seribu tangan dan seribu sayap. Sehingga Rasulullah kagum melihatnya. Kemudian beberapa saat setelahnya, turunlah hujan, dan malaikat itu berkata: “Ya Rasulullah, aku mampu menghitung rintik-rintik hujan yang jatuh dimuka bumi ini dengan tepat, akan tetapi aku tidak mampu menghitung satu hal,” Rasulullah menjawab: “Apa itu wahai malaikat Allah?” malaikat tersebut menjawab: “Aku tidak mampu menghitung banyaknya pahala bagi pengikutmu yang melantunkan shalawat kepadamu.”
Oleh karena itu dikatakan pula dalam hadits, bahwa “sekikir-kikirnya manusia adalah yang tidak ingin bershalawat kepadaku dan keluargaku.” Mengapa dikatakan manusia yang tidak bershalawat atas beliau dan keluarganya adalah manusia yang paling kikir? Karena secara tidak langsung manusia tersebut telah menolak rahmat yang akan datang untuknya. Dapat kita bayangkan jika ada manusia yang saking kikirnya sampai-sampai ia kikir terhadap dirinya sendiri karena menolak rahmat yang datang dari shalawat yang dicapkannya? Kendatipun pelantunan shalawat tidak memerlukan modal apapun, melainkan hanya sebuah suara saja, tidak diperlukan hati yang bersih, tidak diperlukan harta yang banyak dan tidak diperlukan fisik yang kuat untuk melantunkannya. Maka dari itu sungguh benar apa yang dikatakan oleh beliau saww bahwa “sekikir-kikirnya manusia adalah yang tidak ingin bershalawat kepadaku dan keluargaku.”

· KecintaanTerhadap keluarganya
Dalam sebuah hadits, Rasulullah berkata: “Sesungguhnya Allah swt telah menciptakan Islam, lalu Dia menciptakan halamannya, kemudian menciptakan cahayanya, lalu menciptakan bentengnya, kemudia menciptakan penolongnya. Adapun halamannya adalah Al-Qur’an, cahayanya adalah hikmah, bentengnya adalah Al-Ma’ruf/perbuatan baik, dan penolongnya adalah Aku, Ahlulbaitku dan para pengikut kami. Maka cintailah Ahlulbaitku, para pengikut dan penolong mereka. Karena, ketika aku diisra-kan ke langit dunia, Jibril menuturkan nasabku kepada penduduk langit/para malaikat, lalu Allah letakkan kecintaan kepadaku, kepada Ahlulbaitku dan kepada para pengikut mereka ke dalam hati para Malaikat. Sehingga kecintaan itu merupakan titipan/amanah yang ada pada mereka hingga hari kiamat. Kemudian Jibril membawaku turun kepada penduduk bumi, dan dia menuturkan nasabku kepada penduduk Bumi, lalu meletakkan kecintaan kepadaku, kepada Ahlulbaitku dan kepada para pengikut mereka ke dalam hati orang-orang yang beriman dari umatku. Maka orang-orang beriman dari umatku akan menjaga amanahku berkenaan dengan Ahlulbaitku hingga hari kiamat.”
Imam Syafi'i r.a. dalam banyak syair beliau telah melahirkan rasa cinta dan kasih sayang beliau kepada Ahlulbait Rasulallah saww. antara syair beliau yang banyak itu, beliau pernah bermadah: "Wahai Ahlulbait Rasulullah! Kecintaan kepadamu adalah kewajiban dari Allah, yang turun dalam al-Quran. Cukuplah bukti betapa tingginya kamu sekalian. Tiada sempurna sholat tanpa shalawat untuk anda sekalian."
Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan dalam Hadits lain: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit; dan apabila ahli-baitku lenyap, lenyap pula penghuni bumi.”
Hadits Rasulullah SAW dari Abu Dzar menyatakan :” Ahlul- baitku di tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya ia selamat dan siapa yang ketinggalan ia binasa.”
Rasulullah bersabda: "Aku tinggalkan padamu sesuatu, yang apabila kamu berpegang teguh padanya, niscaya kamu tidak akan sesat sepeninggalku, yang satu lebih agung dari yang lain, yaitu kitab Allah, yakni tali penghubung antara langit dan bumi, dan Irtah-ku yaitu ahlulbaitku, keduanya tidak akan berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Al-Haud. Oleh karena itu perhatikanlah bagaimana kamu memperlakuka kedua peninggalanku"
Hadits di atas mengindikasikan bahwa sesungguhnya kecintaan terhadap keluarga Nabi adalah suatu kewajiban yang diberikan Allah untuk umat Nabi saww. Sekaligus juga sebagai keutamaan rasulullah saww karena di antara para Nabi-Nabi, hanya keluarga Rasulullah-lah yang ditempatkan dalam posisi mulia seperti ini. Padahal pada Nabi-Nabi sebelumnya, justru yang mengingkari dari dakwah para Nabi tersebut adalah keluarganay sendiri, seperti yang contohnya yang terjadi pada Nabiyullah Nuh yang ditentang oleh anaknya sendiri yang bernama Kan’an.
Dalam Al-Qur’an sendiri, perkara keluarga Nabi juga telah sedikit disinggung, yakni pada ayat:
“Itulah yang Allah menggembirakan hamba- hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada Al-Qurba". Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Al-Syura: 23)
Kata Al-Qurbâ yang terdapat dalam ayat tersebut ada yang mengartikan sebagai keluarga suci Nabi atau Ahlulbait. Di dalam kamus lisanul arab, kata Al-Qurba itu sendiri berarti نقيضُ البُعْدِ/lawan dari jauh.
Dalam pandangan pernyataan mufassir tentang Al-Qurbâ, dikutip dari Dzakhair Al-Uqba dan As-Shawa’iq, Rasul bersabda:
Sesungguhnya Allah menjadikan upahku atas kalian adalah kecintaan kepada Ahlulbaitku dan aku kelak akan benar-benar akan meminta pertanggung-jawaban kalian tentang mereka.
Jalaluddin As-Suyuthi dalam kitab tafsirnya Al-Dûr Al-Mansûr juz 7 halaman 347-348 menyebutkan beberapa riwayat yang menegaskan hal serupa diantaranya dari Jalur ibn Abbas.
Ibn Mardawaih meriwayatkan dari jalur Ibn Al-Mubarak dari Ibn Abbas terhadap ayat itu, mengatakan:
Hendaknya kalian menjagaku dengan berbaik sikap terhadap keluargaku.”
Al-Hakim dalam Mustadraknya Juz 3 halaman 172 meriwayatkan dari jalur Imam ‘Ali ibn Husein Zainal ‘Abidin bahwa Imam Hasan cucu Rasulullah saww berkhotbah ketika Imam ‘Ali gugur sebagai Syahid atas pedang Ibn Muljam:
Siapa yang mengenal aku pasti ia tahu aku dan yang belum kenal aku maka ketahuilah bahwa aku adalah Al-Hasan putra Muhammad, aku putra orang yang membawa berita gembira dan ancaman, dan aku termasuk ahlulbait yang diwajibkan oleh Allah untuk dicintai dan dipanuti, lalu beliau berkata: termasuk ayat yang diturunkan kepada Muhammad adalah (sembari membaca ayat al-mawaddah).
· Mukjizat Al-Qur’an
Jelas telah kita ketahui bagaimana mukjizat-mukjizat para nabi lainnya. Ada yang mukjizatnya dengan bentuk kekuatan fisik, seperti contoh Nabi Daud as. yang mampu membengkokkan besi dan Nabi Ibrahim as. yang kebal dibakar api, ada yang berbentuk kekuatan sihir, seperti Nabi Musa as. yang mampu mengubah tongkatnya menjadi ular, dan ada juga mukjizatnya berbentuk kitab. Hal ini di miliki oleh Nabi Daud as. dengan Zabur, Nabi Musa as. dengan Taurat, Nabi Isa as dengan Injil. dan Nabi Muhammad saw dengan Al-Qur’an. Kesemuanya memuat wahyu Allah untuk para pengikut utusan-Nya tersebut.
Di antara kitab-kitab tersebut, hanya Al-Qur’an-lah yang dirasa paling memiliki keistimewaan. Mengapa Al-Qur’an dikatakan yang paling istimewa? Karena Al-Qur’an memuat wahyu yang selalu sesuai dengan zaman apapun. Artinya hukum-hukum Al-Qur’an akan berlaku sampai kapanpun hingga hari kiamat tiba. Hal ini berbeda dengan kitab-kitab para Nabi terdahulu yang hanya sesuai pada zaman umatnya saja.
Bahasa Al-Qur’an seperti yang kita ketahui adalah bahasa arab, tapi hal tersebut bukan mengartikan bahwa Al-Qur’an hanya diperuntukkan bagi Bangsa Arab saja. Justru dengan diberikannya bahasa Arab atas Al-Qur’an itu semakin menunjukkan bahwa Al-Qur’an tertuju untuk semua manusia, karena kaidah bahasa arab yang universal dengan bukti kata-katanya yang mampu diderivasi dengan banyak arti.
Menurut Taqi Mishbah Yazdi, salah satu bukti lain dari adanya universalitas Islam itu sendiri terletak pada Al-Qur’an itu sendiri yang tidak diwahyukan hanya untuk satu kaum saja atau satu zaman saja, tapi lebih dari itu, bahwa Al-Qur’an diwahyukan untuk semua umat pasca Isa as sampai berakhirnya zaman. Lebih khusus lagi yakni pada beberapa teks Al-Quran yang secara tidak langsung memberikan gambaran universalitasnya terletak pada ayat-ayat yang berawalkan “Yâ Ayyuhal Al-Nâs”/wahai manusia sekalian atau “Yâ Banî Adam”/wahai keturunan Adam, ini merupakan indikasi bahwa seruan Al-Qur’an meliputi seluruh umat manusia. Serta contoh lain ada pada kata-kata kecaman yang ada pada Al-Qur’an yang ditujukan kepada orang-orang yang ingkar kepada risalah Nabi Muhammad saw agar selayaknya memeluk Islam.
Dari contoh-contoh tentang universalitas Al-Qur’an di atas yakni semisal “Yâ Ayyuhal Al-Nâs”/wahai manusia sekalian atau “Yâ Banî Adam”/wahai keturunan Adam, secara tidak langsung dapat kita pahami mengandung kemutlakan waktu yang tak terbatas atas masa tertentu. Dengan demikian, beberapa contoh di atas telah membuktikan bahwa Al-Qur’anm sebagai mukjizat Nabi Muhammad saww yang terbesar tersebut adalah suatu kitab yang selalu kontekstual dalam segala zaman.

· Penutup Risalah Kenabian/Khatam Al-Anbiyâ’
Semua para kaum muslim di dunia mengakui Rasulullah Muhammad saww merupakan Nabi terakhir yang terkenal dengan isilah Khatam Al-Anbiyâ’, tidak ada Nabi lain setelahnya, hal ini dijelaskan Al-Quran dalam surat Al-Ahzab: 40.
"Muhammad itu sekali-sekali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah rasulullah dan penutup para Nabi-nabi. Dan adalah Allah yang maha mengetahui segala sesuatu".
Kata khatam itu sendiri sebenarnya berarti menyegel. Jadi maksud kata “Khatam Al-Anbiyâ’” itu sendiri adalah segelnya para Nabi, yang dalam perkembangannya kata tersebut diartikan sebagai penutup para Nabi, artinya risalah kenabian telah usai pasca Nabi Muhammad, sehingga telah dinisbatkan bahwa “la nabiyya ba’dahu/tidak ada nabi lain setelahnya”.
Mungkin timbul pertanyaan "apa peran Nabi Muhammad sebagai “Khatam Al-Anbiyâ’” dalam misi kenabian?". Ada tiga alasan yang akan menjelaskannya.
Pertama, umat zaman dahulu tidak mampu menjaga kelestarian kitab suci, yang disebabkan oleh perkembangan mental dan kematangan berfikir. Kitab suci diubah dan didistorsi, hingga diperlukan pembaharuan pesan. Disamping Allah telah menjaga Al-Quran dari perubahan, penghilangan ataupun penambahan dari manusia, pada saat Al-Quran diturunkan, adalah masa ketika manusia telah melampaui masa kanak-kanaknya dan mampu melestarikan khazanah keagamaannya. Oleh karena itu tidak ada distorsi pada Al-Quran, mereka merekamnya dalam ingatan dan tulisannya, agar tidak terjadi perubahan, kerusakan kepadanya.
Kedua, umat terdahulu belum mampu memahami suatu program yang umum dan komperhensif. Pada masa sebelumnya, manusia tidak mampu menerima suatu program umum bagi jalan yang mereka tempuh dan tidak mampu melanjutkan perjalanan mereka dengan bimbingan yang mereka tempuh. Tetapi, serentak dengan tibanya penutup masa kenabian, umat manusia telah mampu menerima program tersebut. Selain itu, alasan bagi diperbaharuinya agama dalam kitab suci adalah bahwa manusia belum mampu memahami program yang umum dan komperhensif. Dengan berkembangnya kemampuan ini, program yang bersifat umum dan komperhensif disuguhkan.
Ketiga, sebagian besar Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad adalah Nabi yang mendedikasikan dirinya sebagai pendakwah, bukan pembawa hukum Ilahi. Nabi-nabi pendakwah kerjanya sebagai marketing, menyebarkan dan menafsirkan hukum Ilahi pada zaman mereka. Lain halnya dengan Nabi Muhammad, beliau merupakan pembawa hukum Ilahi, yaitu Al-Quran yang dibawanya sebagai penyempurna ajaran dari kekurangan-kekurangannya pada masa terdahulu.

Beberapa Akhlak Mulia Nabi Muhammad saww
· Jujur
Nabi saw, sebelum diutus menjadi rasul, mengadakan perjalanan ke Syiria untuk kepentingan Khadijah as. Dan Khadijah as ini di kemudian hari menjadi istrinya. Perjalanan ini, lebih dari sebelumnya, memperjelas kejujuran dan efisiensinya. Kejujuran dan keandalannya jadi begitu terkenal, sampai-sampai dia mendapat julukan tepercaya (al-Amin). Orang mempercayakan penjagaan harta mereka yang berharga kepada Nabi Muhammad saww. Bahkan setelah diutus menjadi rasul, meskipun memusuhinya, kaum Quraisy tetap saja menyerahkan penjagaan harta berharga mereka kepadanya karena merasa yakin akan aman di tangannya. Itulah sebabnya ketika hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saww meninggalkan Imam Ali bin Abi Thalib as untuk beberapa hari demi mengembali-kan titipan-titipan kepada para pemiliknya.

· Ibadah
Untuk sebagian malam, terkadang separo malam, dan terkadang sepertiga atau dua pertiga malam, Nabi saw selalu melakukan ibadah. Meski siang harinya sibuk, khususnya selama Nabi saw berada di Madinah, Nabi saww tak pernah mengurangi waktu ibadahnya. Nabi saw menemukan kenikmatan penuh dalam ibadah dan berkomunikasi dengan Allah swt. Ibadahnya merupakan ungkapan cinta dan rasa syukur, dan motivasinya bukan keinginan masuk surga, juga bukan karena takut neraka. Suatu hari salah seorang istrinya bertanya kepada Nabi saww, bahwa kenapa Nabi saw begitu kuat dedikasinya untuk ibadah? Jawab Nabi saww: "Kepada siapa lagi aku mesti bersyukur, kalau bukan kepada Tuhanku?"
Nabi saww sangat sering berpuasa. Di samping puasa di bulan Ramadhan dan di sebagian bulan Syakban, Nabi saww selalu puasa dua hari sekali. Nabi saww selalu melewatkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan iktikaf di masjid. Dalam iktikaf ini Nabi saww mencurahkan segenap waktunya untuk ibadah. Namun kepada umatnya Nabi saww mengatakan bahwa sudah cukup kalau berpuasa tiga hari setiap bulannya. Nabi saww suka mengatakan bahwa ibadah dikerjakan menurut kemampuan masing-masing, dan tidak boleh memaksakan diri, karena kalau dipaksakan, maka efeknya akan buruk. Nabi saww menentang kehidupan rahib, menentang sikap hidup yang tak mau terlibat dalam urusan duniawi, dan menentang sikap hidup yang menolak kehidupan berkeluarga. Beberapa sahabat Nabi saww mengutarakan niat untuk hidup seperti rahib. Nabi sawwmemperingatkan mereka. Nabi saw sering mengatakan:
“Tubuh, istri, anak-anak dan sahabat-sahabatmu semuanya punya hak atas dirimu, dan kamu harus memenuhi kewajibanmu."
Bila salat sendirian, salat Nabi saww lama, bahkan terkadang Nabi saww berjamjam menunaikan salat sebelum subuh. Namun bila salat berjamaah, salat Nabi saww tidak lama. Dalam hal ini Nabi saww memandang penting memperhatikan orang-orang usia lanjut dan orang-orang yang lemah jasmaninya di antara para pengikutnya. Dalam bagian shalat, menurut riwayat salah seorang istrinya pernah melihatnya beliau ketika sedang wudhu mukanya begitu pucat serasa takut. Lalu salah seorang istrinya tersebut bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa mukamu begitu pucat? Padahal engkau hanya ingin menjalankan shalat?” Nabi saww menjawab: “Ketahuilah bahwa sebentar lagi aku akan menghadap penguasa alam, yang Maha Kuat lagi Maha perkasa maka bagaimana bisa aku tidak takut?”

· Kepemimpinan, administrasi dan konsultasi
Sekalipun beberapa para sahabat Nabi saww menjalankan setiap perintah Nabi saww tanpa ragu, dan berulang-ulang mengatakan percaya penuh kepada Nabi saww dan bahkan mau terjun ke sungai atau ke dalam kobaran api jika saja Nabi saww memerintahkannya, namun Nabi saww tak pernah menggunakan cara-cara diktator. Mengenai masalah-masalah yang belum ada ketentuan khususnya dari Allah swt, Nabi saww berkonsultasi dengan sahabat-sahabatnya dan menghargai pandangan mereka, dan dengan demikian membantu mereka mengembangkan pribadi mereka. Ketika Perang Badar, Nabi saww menyerahkan persoalan mengambil aksi militer untuk menghadapi musuh, memilih lahan untuk mendirikan tenda, dan mengenai perlakuan terhadap tawanan, kepada nasihat sahabat-sahabatnya. Ketika Perang Uhud, Nabi saww berkonsultasi soal perlu tidaknya tentara Muslim bertempur dari dalam kota Madinah ataukah tentara Muslim perlu keluar dari kota. Nabi saww juga berkonsultasi dengan para sahabatnya ketika Perang Ahzab dan Tabuk.
· Teratur dan Tertib
Semua tindakan Nabi saww teratur dan tertib. Nabi saww bekerja sesuai dengan jadwal. Nabi saww mengajak para sahabatnya untuk berbuat sama. Berkat pengaruh Nabi saww, para sahabat jadi penuh disiplin. Bahkan ketika Nabi saww memandang perlu merahasiakan keputusan tertentu agar musuh tidak menaruh syak wasangka terhadap kaum Muslim, para sahabat serta merta melaksanakan perintah Nabi saww. Misal, Nabi saww pernah memerintahkan agar para sahabat bergerak esok hari. Keesokan harinya semua sahabat yang diperintah itu bergerak bersama Nabi saww tanpa tahu maksud finalnya, dan para sahabat baru tahu maksudnya pada saat-saat terakhir. Terkadang Nabi saww memerintahkan beberapa orang untuk bergerak ke arah tertentu, memberikan surat untuk komandan mereka dan memerintahkan agar komandan tersebut membuka surat itu begitu sampai di tempat tertentu dan agar bertindak sesuai dengan perintah. Sebelum mencapai tempat tertentu, mereka tidak tahu maksud mereka dan untuk apa mereka ke sana. Dengan cara ini Nabi saw membuat musuh dan mata-mata tak tahu apa-apa, dan sering kali musuh serta mata-mata tak menduganya.
· Metode Berdakwah
Dalam mendakwahkan Islam, metode Nabi saww lembut, tidak keras. Nabi saww terutama berupaya membangkitkan harapan, dan menghindari penggunaan ancaman. Kepada salah seorang sahabat, yang diutus Nabi saww untuk mendakwahkan Islam, Nabi saww mengatakan: "Bersikaplah yang menyenangkan, dan jangan bersikap keras. Katakan apa yang menyenangkan hati orang, dan jangan buat mereka jadi benci."
Nabi saww memiliki perhatian yang aktif terhadap dakwah Islam. Pernah Nabi saww pergi ke Thaif untuk berdakwah. Pada musim haji, Nabi saww suka menyeru berbagai suku dan menyampaikan pesan Islam kepada mereka. Nabi saww pemah mengutus Imam Ali bin Abi Thalib as dan pada kesempatan lain Mu'adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah. Sebelum ke Madinah, Nabi saww mengutus Mus'ab bin Umair untuk berdakwah di Madinah. Nabi saww mengutus sejumlah sahabat ke Ethiopia/Habasyah. Di samping untuk menghindari penganiayaan kaum musyrik Mekah, mereka mendakwahkan Islam di Ethiopia dan memuluskan jalan bagi diterimanya Islam oleh Negus, Raja Ethiopia, dan 50 persen penduduk Ethiopia. Pada tahun ke-6 Hijrah, Nabi saww mengirim surat kepada pemimpin sejumlah negara di berbagai bagian dunia dan mengenalkan kepada mereka tentang kenabiannya. Sekitar seratus surat yang ditulis Nabi untuk berbagai pemimpin, sampai sekarang masih ada.
REFERENSI
Syaikh Musa Zanjani. Madinah balaghah, Kumpulan Khotbah, Surat dan Ucapan Nabi Muhammad SAWW. Jakarta. Lentera. 2010.
Lisanul Arab
Ali umar Al-Habsyi. Tafsir Nuur Tsaqalain, Mengungkap: Mutiara Keutamaan Ahlul Bayt. Jakarta. Yayasan Al-Baqir. 1994.
MT Misbah Yazdi. Iman Semesta. Jakarta. Al-Huda. 2005.
HMH. Al Hamid Al Husaini. Keagungan Sayyidina Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salam.yayasan Al hamidiy. 1996.
Murtadha Muthahhari. Falsafah Kenabian. Jakarta. Pustaka Hidayah. 1991